Uang Ketuk Palu Diusut Tuntas Tidak Tebang Pilih - Gelora Hukum
IKLAN

Breaking

Minggu, 16 Februari 2020

Uang Ketuk Palu Diusut Tuntas Tidak Tebang Pilih

Ditulis Oleh: Adrianus Aroziduhu Gulo       
GELORA HUKUM - Akhir-akhir ini Lembaga Komisi Pemberantas Korupsi(KPK) menjadi bahan diskusi dan kritik di tengah-tengah masyarakat, terutama para pengamat dan penggiat anti korupsi atas gagalnya penanggkapan HM tanggal 8 Januari 2020 yang sampai sekarang belum diketahui rimbanya, bahkan semakin banyak polemik yang berkaitan dengan HM. Gagalnya penangkpan HM, beberpa pihak mengaitkan dengan  keluarnya Undang-undang KPK Nomor : 19 Tahun 2019 tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentng Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perubahan undang-undang KPK dalam percakapan sehari-hari disebut “revisi” Undang-undang KPK.
 Mereka menduga dengan revisi undang-undang tersebut Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini diandalkan menyikat habis pencuri uang rakyat, dapat melempem karena sebagian kekuasaannya telah dipreteli.

Kekhawatiran terebut dapat dipahami sebagai tanda keprihatinan atas kehidupan sebagian masyarakat yang masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka berkeyakinan bahwa salah satu penyebab kemiskinan yang membelenggu masyarakat karena kebocoran uang negara yang dilakukan orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Mereka menduga, apabila KPK lemah maka orang-orang yang sudah biasa mencuri uang  rakyat semakin leluasa, malah berpeta pora diatas kemiskinan rakyat.

Namun kekhawatiran masyarakat direnspon oleh KPK secara positif dan tindakan nyata dengan memeriksa dan menahan bupati non aktif Solok Selatan Provinsi Sumatera Barat dan menetapkan 14 ( empat belas) orang anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 atas dugaan menerima “uang ketuk palu” dari mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujonugroho. Sampai saat ini anggota DPRD Provinssi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 telah ditetapkan  sebagai tersangka oleh KPK sebanyak 64 orang. Dari 64 orang tersebut 50 orang telah dijatuhi hukuman/penjara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dengan lama hukuman bervariasi.

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebanyak 14 orang yang baru ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersal dari bebagai partai politik, marga, suku dan daerah pemilihan. Itu menunjukan bahwa setiap orang memiki persamaan didepan hukum (equality before the law). Dari 14 orang tersebut 2 (dua) orang berasal dari Daerah Pemilihan Nias yaitu : SH dan R. Masyarakat Nias sangat gundah atas keterlibatan anggota DPRD asal Dapil Nias dalam kasus suap ketuk palu yang digolongkan korupsi berjamaah.

Kegundahan ini bukan tanpa dasar, karena sebelumnya dalam kasus yang sama tiga orang anggota DPRD dari Dapil Nias yaitu : AZ, RS dan ED telah dijatuhkan hukuman dan telah berkuatan hukum tetap. Harapan masyarakat Nias yang selama ini dititipkan kepada mereka agar label termiskin, terisolir dan terpencil di kepulauan Nias sirna. Namun apa yang terjadi 5 (lima) orang anggota DPRD dari Dapil Nias ikut bermain api menerima “uang ketuk palu” dari mantan Gubernur Gatot P yang pada akhirnya; selain merugikan masyarakat Nias, juga memalukan.

Dengan kejadian ini, sebagian masyarakat Nias berpendapat : Pantaslah dalam kurun waktu 2009 -2019  pembagunan dari Provinsi Sumatra Utara yang dialokasikan di Nias sangat kecil, karena para legislatif dari daerah pemilihan Nias tidak serius memperjuangkan kepentingan Nias ditingkat provinsi, melainkan mengutamakan kepentingan pribadi. Akhirnya Nias semakin : terpuruk, miskin, terisolir, tidak berdaya, dan sangat sulit mensejajarkan diri dengan kabupaten/kota yang ada di wilayah Sumatera Utara.

Walaupun demikian, masyarakat Nias tetap optimis alokasi pembangunan di Nias pada tahun-tahun yang akan datang semakin besar, sebab selain bapak Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmadi sering kunjungan kerja di kepulauan Nias, juga ada 6(emam) orang legislatif di DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2019-2024 dari Dapil Nias tetap ingat janji saat kampaye. Semoga jalan provinsi lewat Nias Tengah yaitu dari simpang Miga-Moi-Lolowau- Amandaya-Telukdalam dan dari simpang Moi-Mandehe-Sirombu-Lolowau serta Sirombu – Afulu menjadi prioritas.

Tidak Tebang Pilih
Sudah tidak rahasia lagi bahwa terjadi mega korupsi di DPRD Provinsi Sumatera Utara yang disebut “uang ketuk palau”, pasti ada orang : memberi ide agar diberi uang, menghimpun dan mengumpulkan uang, menyerahkan/membagikan uang serta mengecek apakah uang sudah sampai kepada anggota DPRD.
Semua unsur di atas demi keadilan harus diusut/diproses oleh KPK. Sebab orang-orang tersebut diduga melanggar  KUHP pasal 55 ayat (1) yang menyatakan :  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan ; 2. mereka dengan  pemberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Berdasarkan bunyi KUHP pasal 55 ayat (1) di atas, maka orang yang punya ide memberikan uang ketuk palu, orang yang menghimpun dan mengumpulkan uang, orang yang menyerahkan dan membagikan uang, orang yang mengecek uang, orang yang melihat dan mendengar uang telah diserahkan kepada anggota DPRD adalah termasuk melakukan tindak pidana. Mereka sudah mengetahui ada tindak pidana, namun tidak melaporkan kepada aparat penegak hukum. Orang-orang ini bisa berasal dari ASN, pejabat provsu, rekanan atau orang-orang yang dekat dengan kekuasaan saat itu, semuanya dapat diproses secara hukum sesuai  perannya masing-masing, sehingga rasa keadilan dan persamaan dihadapan hukum menjadi kenyataan.

Apalagi, jika mengikuti pengakuan 50 orang anggota DPRD pada sidang pengadilan menyatakan bahwa uang ketuk palu mulai tahun 2012 – 2014, itu berarti lebih dari satu kali, akan tetapi tidak ada seorang pun  melaporkan kepada aparat penegak hulum. Gejala ini dapat dimaknai suatu upaya melegalkan “suap”. Tidak ada satu pun diantara penyuap dan yang disuap menyadari bahwa tindakan mereka, me-down grade (menurunkan) wibawa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan menyengsarakan masyarakat.

Bisa saja saat anggota DPRD tersebut menerima suap tersenyum seraya berkata: “ini rejeki nomblok”, ini rejeki yang didapat tanpa keringat dan kerja keras, ini bukan uang haram karena uang tidak ada yang haram. Ini uang terima kasih atas pembahasan perda siang-malam, enak menjadi anggota DPRD dan seterusnya. Mereka masing-masing mencuci otak untuk pembenaran perbuatan jahat. Sedangkan dari pihak pemberi suap berkata : “harga diri anggota DPRD bisa dibeli dengan uang ratusan juta rupiah, uang bisa mengatur.” Sambil ketawa pemberi suap merasa harga dirinya lebih tinggi dari anggota DPRD. Walaupun uang yang diberikan itu bukan uangnya, melainkan uang orang lain yang ingin mendapat kerja/proyek.

Untuk itu, kepada KPK diharapkan mengusut tuntas semua orang yang terlibat dalam kasus suap ketuk palu di DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan tidak tebang pilih. Walaupun diantara mereka ada yang hanya ikut-ikutan dan perintah atasan, namun hukum tetap ditegakkan. Hal ini sangat penting agar anggota DPRD yang baru ditetapkan tersangka maupun mereka yang telah dihukum, beserta keluarga mereka tidak merasa dizolimi. Kesan ketidak adilan dan dizolimi ini semakin mengemuka, apabila masih ada anggota DPRD yang diduga menerima uang ketuk palu tetap berkeliaran serta “pemberi suap dan/atau perantara suap” masih ada yang belum tersentuh hukum.

Penulis berkeyakinan gerak cepat KPK  menuntaskan kasus uang ketuk palu tersebut sampai keakar-akarnya, pasti banyak tantangan. Karena itu, masyarakat Provinsi Sumatera Utara sepantasnya mengapresiasi dan menaruh hormat atas upaya keras KPK menetapkan 14 orang lagi anggota DPRD Provsu periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka dan mendukung KPK untuk memproses semua orang yang terlibat dalam suap ketuk palu dengan tidak tebang pilih . Hidup KPK. (Tim-red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOSOK