Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö (Pemerhati Birokrasi di Pulau Nias ; Bupati Kabupaten Nias Barat periode 2011-2016) |
Nias Barat, Gelora Hukum - Sebagai kader partai politik yang menjunjung tinggi etika
politik, sangat malu jika sesama kader terjaring operasi tangkap tangan(OTT)
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain malu, juga sedih karena nama
baik partai politik terbawa-bawa atas perbuatan tidak terpuji dari oknum kader
yang tidak tahu malu itu. Upaya-upaya keras partai politik untuk meningkatkan
elektabilitas, menjaga kehormatan dan nama baik dengan melakukan kegiatan
pro-rakyat, agar partai diterima dan dicintai masyarakat, terasa sia-sia dan
tergerus oleh perbuatan seorang kader yang menyalahgunakan wewenang dengan
melakukan korupsi atau menerima suap dari seseorang untuk kepentingan pribadi.
Sungguh
saya sangat malu, ketika mendengar berita dari beberapa media online dan
televisi pada 5 Mei 2018 dan surat kabar SIB pada 6 Mei 2018, dengan judul
“Anggota DPR RI diciduk KPK” pada halaman 1 dan 15. Memberitakan bahwa salah
satu kader partai saya, yaitu Partai Demokrat atas nama AS anggota DPR RI
bersama YP pejabat Direktorat Perimbangan Keuangan pada Kementerian Keuangan RI
kena operasi tangkap tangan oleh KPK. Mereka diduga menerima suap usulan
perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P dari seseorang. Namun herannya, ketika
AS nampak di televisi seperti tidak ada rasa malunya, ia berjalan dengan
santai sambil senyum, melambaikan tangan
seperti tidak ada apa-apa. Seperti bangga atas kesalahannya. Mungkin ia meniru
para tersangka pendahulunya yang selalu senyum dan melambaikan tangan bila
keluar dari ruang pemeriksaan KPK menuju mobil dan rumah tahanan KPK. Mereka
happy saja. Mengapa mereka selalu senyum dan melambaikan tangan seperti tidak
ada rasa malu? Hanya mereka yang bisa menjawabnya.
Tindakan
AS ini juga aneh, sebab beberapa hari sebelumnya Bupati
Bandung Barat kena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Namun AS tidak
kapok, tidak malu, tidak hati-hati dan tidak takut. Aneh…. Hal inilah yang
membuat masyarakat bertanya-tanya. Kenapa para pejabat dan anggota legislatif
tidak malu, tidak kapok, tidak takut melakukan korupsi dan menerima suap
padahal KPK/penegak hukum sudah sering melakukan OTT? Jawabannya sederhana:
mereka sudah dikuasai oleh sifat keserakahan, sehingga tidak memikirkan
kepentingan rakyat seperti apa yang dijanjikan saat kampanye, melainkan
kepentingan pribadi dengan gaya hidup hedonisme. Janji kampanye tidak dianggap
utang, melainkan hanya sebagai upaya mengakali rakyat.
Sikap Tegas
Atas
perbuatan tercela yang dilakukan AS, DPP Partai Demokrat bersikap tegas dengan
memberhentikan AS dengan tidak hormat sebagai kader/anggota PD setelah AS
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sikap tegas DPP PD tidak hanya kepada
AS, sebelumnya sudah diberlakukan kepada beberapa kader yang terlibat korupsi,
seperti AU, NR, AS, BS, RM, dll. Sikap tegas ini merupakan implementasi etika
politik Partai Demokrat, yaitu: bersih, cerdas, santun. Malah, pada siaran
persnya, Sekjen PD Hinca Panjaitan menandaskan bahwa, ”memberi dukungan kepada
KPK untuk melakukan tindakan-tindakan hukum dalam memberantas korupsi, serta
Partai Demokrat tidak memberi ruang kepada koruptor”(m.medicom.id, Sabtu 5 Mei
2018)).
Sikap
tegas ini patut diapresiasi oleh semua pihak termasuk pimpinan partai politik
yang lain, karena kita tahu bahwa
korupsi ini merupakan musuh bersama yang harus dilawan dengan cara-cara yang
benar. Para pakar berpendapat kemiskinan di Indonesia salah satu sebabnya
massifnya korupsi. Mungkin terlalu berlebihan kalau saya katakan: Korupsi itu
beda-beda tipis dengan teroris. Kalau
korupsi menghancurkan negara secara pelan-pelan, sedangkan teroris
menghancurkan negara secepat-cepatnya.
Sikap
tegas dari pimpinan Partai Politik terhadap kadernya yang diduga korupsi
atau perbuatan tercela lainnya seperti:
zinah, menipu, narkoba, judi, tidak loyal, oportunis, dll., membuat para kader
lainnya semakin bangga dan militan yang pada akhirnya partai menjadi besar dan
disenangi masyarakat. Dampaknya, calonnya pada pemilu legislatif dan pemilu
presiden/wakil presiden akan dipilih masyarakat.
Namun,
kenyataannya ada beberapa pimpinan partai politik enggan memecat kadernya yang
diduga korupsi dan sudah ditetapkan tersangka, malah melindungi dan melakukan
pembelaan secara berlebihan. Kenapa? Bisa jadi kader tersebut sebagai donatur,
famili, kerabat atau memegang rahasia pimpinnan. Karena itu pimpinan takut
memecatnya, takut rahasianya terbongkar. Partai ini pelan tetapi pasti akan
ditinggalkan konstituennya.
Seleksi yang Ketat
Tidak
ada maksud kembali ke zaman orde baru. Akan tetapi pada zaman orde baru jarang
sekali kita dengar anggota legislatif korupsi. Mengapa? Karena seleksi masuk
calon legislatif zaman itu sangat ketat dari Partai Politik. Selain persyaratan
yang sudah ditetapkan dalam undang-undang pemilu, ada persyaratan lain yang
tidak tersirat. Misalnya, caleg dari umum diambil dari tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pemuda, tokoh adat, pengusaha, dll., dan berpengalaman dalam
organisasi. Caleg dari ASN dipersyaratkan golongan sekian, pengurus Korpri,
dedikasi tinggi, loyal, berpengalaman berorganisasi, dll. Caleg dari ABRI
dipersyaratkan pangkat sekian, penugasan, loyal, bersih lingkungan, telah ikut
kursus sosial politik ABRI, dll. Selain itu, semua caleg sudah ikut dan punya
sertifikat penataran P4 minimal pola 40 jam bagi caleg kabupaten/kota. Dengan
demikian mereka sudah punya bekal dalam melaksanakan tugas.
Apabila
kita bandingkan dengan zaman now sangat jauh berbeda. Hanya beberapa partai
politik yang melakukan seleksi ketat pada caleg kabupaten, caleg provinsi dan
caleg pusat. Malahan partai tersebut mengadakan penataran dan pendidikan politik
kepada kadernya yang akan dicalegkan. Sementara ada juga partai politik yang
seleksi calegnya sangat longgar, istilahnya,
copot sana – copot sini. Yang penting mau dan sanggup bayar sekian untuk
kas partai serta memenuhi kuota caleg pada dapil tersebut.
Syarat
pendidikan formal pun tidak dipersoalkan, yang penting lulus paket C.
Ketokohan, integritas, militansi, loyalitas, wawasan, keahlian, pengalaman,
ketrampilan, dll., kurang dipertimbangkan. Malah ada caleg yang latar
belakangnya tercela. Maka, tidak heran kalau mereka sudah terpilih
dan duduk di kursi empuk, mereka tidak tahu apa yang dikerjakan. Mereka hanya
mengandalkan tugas dan wewenangnya selaku legislatif dengan suara besar/keras
dan pukul meja, apabila pendapat maupun aspirasinya tidak terakomodir.
Selanjutnya ia putar otak bagaimana caranya mendapat uang banyak, untuk
mengganti kerugianya saat kampanye/beli suara dan yang disetor di kas partai.
Nah, dari sinilah awalnya korupsi.
Mengabdi Pada Rakyat
Untuk
itu, diharapkan kepada pimpinan partai politik dari seluruh jenjang agar dalam
menetapkan caleg pada pemilu legislatif tahun 2019 benar-benar selektif dan
memilih orang yang betul-betul mengabdi kepada rakyat, negara/bangsa dan
partai, bukan mengabdi kepada uang. Hal ini sangat penting agar image lembaga
DPRD dan partai polilik yang selama ini dianggap sebagian orang, sebagai sarang
orang-orang korup, kembali pada fungsinya sebagai lembaga yang memperjuangkan
kepentingan dan penyalur aspirasi masyarakat.
Dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan
Admnistrasi pimpiminan dan anggota DPRD, gaji DPRD naik sangat signifikan.
Gaji/tunjangan/fasilitas anggota DPRD memang tidak sama tiap-tiap daerah sesuai
dengan kategori daerah: rendah, sedang, tinggi dan tinggi sekali.
Untuk
mempermudah, kita ambil contoh dari Kabupaten Madiun yang masuk kategori
tinggi. Ketua DPRD Kabupaten Madiun Joko Setijono mengatakan, “Saat ini anggota
DPRD Madiun menerima gaji sekitar Rp 15 juta tiap bulan. Dengan demikian bila
disepakati kenaikan dua kali gaji, maka anggota DPRD Madiun mendapat
penghasilan mencapai Rp 45 juta tiap bulan.” (Kompas.com, 13 Juli 2017). Gaji
sebesar di atas yang telah disediakan negara yang berasal dari uang rakyat,
sudah cukup, lebih dari cukup, malah bisa menabung. Karena itu, tidak ada
alasan bagi anggota DPRD kabupaten/kota, apalagi anggota DPRD Provinsi dan DPR
RI untuk korupsi (gaji/honornya lebih besar lagi). Pun pula, tidak perlu
bermain mata pada saat penetapatan ABPD dan PAPBD, APBN dan APBN-P, perda-perda
lainnya dan LKPJ kepala daerah, apalagi main proyek.
Sejatinya,
kenaikan gaji/honor/tunjangan/fasilitas legislatif merupakan upaya negara untuk
mencegah korupsi yang selama ini sedang menggurita di lingkungan
legislatif. Korupsi tidak hanya di
legislatif, di eksekutif pun banyak terjadi korupsi, terutama dalam pengadaan
barang/jasa. Untuk itu, kita harapkan kepada pemerintah mempertimbangkan
kenaikan gaji ASN dan pensiunan ASN yang sudah beberapa tahun tidak naik.
Walaupun
kenaikan gaji bukan jaminan tidak ada korusi, namun bagi kebanyakan ASN dan
pensiunan serta legislatif sangat
bermanfat. Harus diakui masih banyak ASN
dan anggota legislatif yang tidak mau korupsi. Mereka yang tidak mau korupsi itu
perlu dibantu dengan kenaikan gaji. Kita harapkan dengan kenaikan gaji, ASN dan
legislatif yang selama ini punya kebiasaan, hoby, niat, ingin korupsi
menyadarinya. Kemudian punya rasa malu dan kapok melakukan korupsi, Semoga…. Tandas A.A Gulo mengakhiri. (Timred)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar