Nasib Demokrasi Indonesia Jika Tetap Diselenggarakan Pemilu Serentak 2024 - Gelora Hukum
IKLAN

Breaking

Sabtu, 26 Juni 2021

Nasib Demokrasi Indonesia Jika Tetap Diselenggarakan Pemilu Serentak 2024

Oleh :  SUMARNA, APN Strahan Kemhan

JAKARTA, GELORA HUKUM - Pesatnya kemajuan dan perkembangan Iptek (IPTEK) di era globalisasi juga sangat berdampak terhadap perubahan cara pandang dan pola pikir bagi manusia, termasuk setiap warga negara Indonesia (WNI ) dalam menghadapi  berbagai dinamika dan problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta  dalam kehidupan politik dan berdemokrasi. Demikian pula bangsa Indonesia sebagai individu mempunyai kepribadian tersendiri, yakni kepribadiaan yang terwujud berbagai hal diantaranya dalam kebudayaan, perekonomian, watak dan lain-lain yang sangat terkait  pembangunan nilai-nilai ke-Indonesia-an berbasis legitimasi dari negara. Keberadaan dan keberlangsungan suatu negara bukan ditentukan kemampuan menampung aspirasi dan melayani kepentingan rakyatnya, melainkan ditentukan oleh kesanggupan untuk bertindak sebagai pendidik (tutor) bagi rakyatnya, tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dengan mengembangkan budaya kewargaan (citizenship).  

Sejak Tahun 2018 menjadi persimpangan jalan bagi Bangsa Indonesia dalam membangun infrastruktur fisik, tetapi harus dilakukan Revolusi Mental dalam membangun arsitektur kebangsaan. Pemerintahan Joko Widodo telah berhasil membangun berbagai aspek yang menyangkut infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur dimana dulunya selalu tertinggal dengan Kawasan Indonesia Barat ataupun Kawasan Indonesia Tengah. Namun, ini menjadil lebih jika sekedar membicarakan ekonomi. Pembangunan mental (revolusi mental)  perlu dilakukan bersamaan,  karena   generasi muda di Indonesia saat ini mengalami  degenerasi karakter jati diri.

Padahal WR. Supratman sudah mengingatkan lewat lagu Indonesia Raya: "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!". Beliau mengingatkan bahwa jiwa bangsa ini perlu untuk dibangun dan diberi benih-benih ke-Indonesia-an. Sebab kesuksesan suatu negara tidak bisa diukur hanya dari melihat bagaimana bisa menampung dan melayani aspirasi rakyatnya, namun juga harus mendidik rakyatnya agar dapat bertindak dan sanggup menjadi warga yang baik,serta memiliki budaya kewargaan dan kenegaraan, serta ini merupakan salah satu dari cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Nilai-nilai ke-Indonesia-an  bangsa Indonesia saat ini seakan mengalami rapuh dalam  menghadapi era globalisasi dan gempuran pasar internasional.   Jiwa - jiwa pemuda Indonesia yang belum matang terlihat gusar akan jati dirinya dihadapkan dengan ideolog-ideologi transnasional.  Infrastruktur hanya akan menjadi alat yang terbengkalai serta tidak membawa kemaslahatan dan kesejahteraan untuk umum, karenanya  pembangunan infrastruktur sepertinya  tidak lagi bernilai,  jika dibandingkan dengan pembangunan mental (revolusi mental) bangsa Indonesia, sehingga dirasa sudah sangat penting  dan mendesak   untuk dilakukan.

Pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat, tertera bahwa salah satu Tujuan Nasional kita bernegara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Usaha  pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terbatas pada kecerdasan diri yang bersifat personal  (IQ), tetapi juga yang bersifat publik. Kecerdasan diri  yang bersifat privat (private self), personal dan memiliki  ciri khas tersendiri, serta   yang bersifat publik (public-self) dengan melibatkan relasi sosial, sehingga hal itu akan mendorong tumbuh suburnya masyarakat dalam berdemokrasi di Indonesia.

Demikian pula di suatu negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia, pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar utama dari  proses akumulasi kehendak masyarakat dan sebagai prosedur demokrasi guna memilih pemimpin nasional  yang berkualitas baik di tingkat Pusat hingga ke tingkat Daerah   (kepala daerah dan kepala desa).

Pemilu diyakini oleh mayoritas masyarakat   sebagai  mekanisme pergantian dominasi yang sangat aman, bila dikomparasikan dengan cara-cara lain  atau Pemilu adalah proses memilih orang guna dijadikan pengisi jabatan-jabatan politik tertentu, mulai dari presiden, wakil rakyat di sekian banyak tingkat pemerintahan di tingkat Pusat hingga ke Daerah hingga di tingkat kepala desa. 

Oleh karena kredibilitas dan legitimasi kepala daerah di era demokrasi muncul karena dipilih oleh rakyat, karena demokrasi intinya yakni pemilihan pemimpin oleh rakyat, bukan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan, maka jika kepala daerah ditunjuk langsung oleh presiden melalui Mendagri, kemungkinan kredibilitas dan legitimasinya di mata rakyat akan sangat lemah, sehingga dimungkinkan akan muncul  asumsi neatif  terkait netralitas ASN yang ditunjuk sebagai kepala daerah.

Ada asumsi politik, bahwa penyelenggaraan pilkada serentak 2024 akan berjalan tidak rasional karena pandemi Covid-19. Hal tersebut tidak akan terjadi, sebab Pilkada yang sukses pada 9 Desember 2020  menjadi tolok ukurnya dan tetap harus dilaksanakan pilkada serentak pada 2022 dan 2023 mendatang agar menjadi panggung politik untuk kandidat capres dan cawapres. 
Laporan Indeks Demokrasi 2020 seperti ditulis oleh DW Indonesia (8/2/2021),  yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa Norwegia mendapat skor tertinggi yakni 9,81 dengan indeks demokrasi skor tertinggi di dunia, posisi kedua Islandia, skor 9.37, posisi ketiga, Swedia skor 9.26, Selandia Baru dan Kanada. Sedangkan negara dengan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara, dengan skor 1.08. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun 2020 tercatat 5.37, menurun dari  sebelumnya 5.44 sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunan pada tahun 2006. Berdasarkan skor tersebut, EIU  mengelompokkan negara-negara dalam empat kategori rezim, yakni:  demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.  Dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020 itu, juga menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada pelaksanaan demokrasi dan kebebasan di dunia.

Bangsa  Indonesia saat ini  dalam kondisi kritis akibat dinamika perubahan orientasi,di beberapa aspek, salah satunya aspek Pendidikan yakni Pendidikan berdemokrasi,  yang sudah mengarah pada persimpangan jalan dari tujuan nasional.

Ada suatu suatu asumsi bahwa hal ini terjadi kesalahan persepsi  bahwa pemaksaan keserentakan penyelenggaraan pemilu di 2024 akan dapat membuat  "Demokrasi” di Indonesia berjalan semakin mundur,  jika Pilkada serentak tetap dipaksakan pada pemilu serentak tahun 2024 dan 2026 mendatang.  Diperkirakan ada sejumlah 272 penjabat kepala daerah yang bakal ditunjuk untuk mengelola provinsi, kabupaten, dan kotamadya, selama 1-2 tahun. Lalu bagaimana dengan masa depan “Demokrasi” di Indonesia? 
Penunjukan sejumlah 272 ASN (atau korps tertentu) sebagai penjabat kepala negara dalam jangka waktu yang raelatif lama (tahunan) menjelang Pemilu 2024, merupakan bom waktu berupa potensi penyalahgunaan kekuasaan dan dapat mencederai  netralitas ASN, karena netralitas ASN sebagai  bagian penting untuk menjaga  kualitas demokrasi di Indonesia.   Untuk itu perlu adanya revisi terhadap UU Pemilu  guna memberikan  penguatan peran kelembagaan penyelenggara Pemilu seperti Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) dan PANWASLU

Langkah pemerintah untuk melakukan Revisi terhadap UU Pemilu juga akan  berdampak positif terhadap meningkatkan indeks demokrasi Indonesia dan sangat baik bagi proses kenegaraan, serta berimplikasi terhadap penguatan peserta Pemilu maupun partai politik, dan sebagai Pendidikan politik dalam memberi penguatan kesadaran berpolitik bagi  setiap warga masyarakat Indonesia. Langkah itu sangat penting, tidak hanya terkait isu krusial  yang klasik, melainkan ada hal penting  yakni memasukan teknolgi informasi pemilu agar efisien dan efektif dalam rekapitulasi, serta membuat peradilan khusus tentang Pemilu, karena masih banyak terjadi  tumpang tindihnya kewenangan.
 
Oleh karenanya UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah mengatur secara efisien penyelanggaraan pemilu, akan tetapi masih perlu direvisi secara komprehensif, bukan sebagai tambal sulam kekurangan atas penyelenggaraan sebelumnya dan harus didesain (direvisi) sedemikian rupa, karena situasi saat ini  sangatlah tepat untuk melakukan revisi terhadap UU Pemilu tersebut, terlepas dari banyaknya catatan dan kekurangan atas  penyelenggaraan demokrasi pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. 

Kepentingan subjektif untuk melakukan upaya penjegalan terhadap partai maupun kandidat pada Pemilu  2024 harus dihilangkan, karena  kita sepakat dan komitmen dalam upaya perbaikan kualitas pemilu dan masa depan demokrasi Indonesia  lebih baik melalui penguatan demokrasi.

Pemilu serentak nasional akan diselenggarakan pada 2024 dan pemilu serentak daerah pada 2026.  Pemilu serentak nasional terdiri dari pilihan presiden, pemilu DPR dan DPD.  Sementara, untuk pemilu serentak daerah meliputi pilkada dan pemilu DPRD.  Desain kerentakan pemilu daerah serentak pada 2026 sebagai bentuk win-win solution,  bagi  banyak pihak, dengan  konsekuensi sebagai berikut : 
1. Masa jabatan kepala daerah dan DPRD perlu diperpanjang hingga tahun 2026
2. Pemilu serentak bisa membuat anggaran lebih efisien.
3. Anggaran pilkada dan pemilu DPRD sebaiknya menggunakan APBN.
4.  Beban kerja penyelenggara pemilu tidak terlalu berat
Pertimbangan usulan pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah harus dipisahkan terkait beban kerja penyelenggara pemilu. Sehingga dengan  pemisahan waktu, maka beban kerja penyelenggara pemilu tidak terlalu berat untuk penyelenggaraan pemilu serentak nasional pada 2024 dan pilkada serentak 2026 akan lebih memadai (pemilu nasional serentak dan pemilu daerah serentak) dilaksanakan di hari yang sama.

Pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis dengan menata ulang sistem perundang-undangan, pengelolaan pertahanan dan keamanan negara, serta    memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia, karena belum disyahkannya RUU Keamanan Nasional (Kamnas) oleh DPR masih dirasa akan menjadi   faktor penghambat  terwujudnya sishankamrata bagi Indonesia.

Sehingga pemerintah perlu mengembangkan postur pertahanan Militer dalam pola Tri-Matra terpadu yang dirancang berdasarkan strategi yang sesuai dengan memadukan secara totalitas dan serasi kemampuan fungsi-fungsi,serta perlu  mengembangkan postur pertahanan Nirmiliter  melaui komando pembinaan territorial,   sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga (K/L) lain dan Pemda dengan  RAK juang yang mumpuni dan handal guna mengatasi berbagai bentuk ancaman non militer dan ancaman hybrida.(Tim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOSOK