Sikap Lengah Pertahanan Bisa Jebol - Gelora Hukum
IKLAN

Breaking

Rabu, 15 Juli 2020

Sikap Lengah Pertahanan Bisa Jebol

Adrianus Aroziduhu Gulo, SH,. MH
GELORA HUKUM - Sikap Lengah Pertahanan Bisa Jebol Pada umumnya  tiap hari kita mengikuti berita pada media cetak maupun elektronik tentang perkembangan penanganan dan penularan covid 19 secara lokal, nasional dan internasional. Fokus perhatian kita terutama berapa pada hari ini : positif covid 19, sembuh dari covid 19, meninggal karena covid 19 serta tenaga dokter-medis yang terpapar covid 19.

Penulis pun yakin reaksi kita beda-beda tipis, biasanya kita berkata: Kalau hari ini jumlah positif covid 19 bertambah jumlahnya: “ Wah  semakin berbahaya dan menyerang tanpa tebang pilih”. Kalau hari ini banyak yang sembuh dari covid 19 :  “Puji Tuhan, dan terimakasih kepada tenaga dokter dan medis”. Kalau hari ini banyak yang meninggal karena covid 19: “Kasihan keluarganya,  semoga Tuhan memberi mereka tempat abadi di sorga” dan covid 19 segera berakhir.

Apa pun reaksi dan ungkapan yang disampaikan secara spontan, bahkan menunjukkan kesedihan dengan meneteskan air mata  tidak akan dipertimbangan covid 19 saat menyerang manusia. Mereka membawa maut kepada siapa pun, tanpa membedakan: tua-muda, kaya-miskin, pejabat-petani dan lain-lain. Covid 19, juga tidak punya rasa belas kasihan, karena belas kasihan itu hanya dimiliki oleh manusia yang punya peradaban.

Buktinya, pada tanggal 9 Juli 2020 yang positif covid 19 sebanyak 2657 orang, padahal  hari-hari sebelumnya orang yang positif covid 19 berkisar angka seribuan, bahkan pada bulan April dan Mei yang positif covid 19 hanya ratusan orang tiap hari.  Gejala penambahan jumlah yang positif covid 19 merupakan indikasi “lengah”, sehingga musuh (covid 19) dengan mudah menyerang dan menghancurkan benteng pertahanan.

Walaupun demikian tidak perlu panik, takut dan cemas berlebihan, justru sikap tersebut tidak menyelesikan masalah bahkan bisa membuat daya tahan tubuh menurun, jika daya tahan tubuh turun mudah diserang penyakit.

Bertambahnya positif covid 19 kita melihatnya dari segi positif bahwa orang yang diperiksa dengan swab atau sebutan lain  semakin banyak, sehingga yang terdekeksi positif covid 19 semakin banyak. Ini pun lonceng peringatan keras agar tetap mematuhi protokol kesehatan antara lain : pakai masker, jaga jarak, hindari salaman, tinggal di rumah, hindari kerumunan dan lain-lain.

Tempat Ibadah Telah Memberi Contoh: Setelah PSBB terutama di zona hijau dan kuning beribah bersama di tempat ibadah dan melaksanakan pesta seperti : perkawinan, ulang tahun dan lain-lain diperbolehkan asalkan tetap mempedomani protokol kesehatan. Akan tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda, hanyalah tempt-tempat ibadah dan mengurusnya yang konsisten menerapkan protokol kesehatan. Contoh, penulis sudah 7(tujuh) kali mengikuti ibadah/misa di gereja katolik St. Maria Bunda Para Bangsa-Gunungsitoli.

Sebelum masuk gereja semua umat diwajibkan cuci tangan ditempat yang telah disediakan, periksa suhu badan dan dalam gereja telah diatur jarak tempat duduk. Dulu satu bangku bisa duduk 6(enam) orang, sekarang satu bangku hanya bisa dudud 3 (tiga) orang. Semua umat pakai masker serta anak-anak kecil dilarang ikut misa, kecuali anak yang sudah menerima komuni yang umurnya sekitar 12 tahun ke atas. Penulis pun yakin di tempat-tempat ibadah di kota Gunungsitoli dan sekitarnya  mempedomani protokol kesehatan.

Menghimbau kepada semua pengurus tempat ibadah agar tetap mempedomani protokol kesehatan demi keselamatan  bersama. Kalau di kota agak mudah menerapkan protokol  kesehatan. Pertanyaan, apakah  pelaksaaan ibadah di pelosok-pelosok tetap menerapkan protokol kesehatan? Penulis terus terang tidak mampu menjawab, karena tidak sempat memantau sampai ke pelosok-pelosok atau desa-desa. Biarlah itu menjadi tugas dan tanggung jawab Satuan Gugus Covid 19 di kabupaten/kota masing-masing untuk memonitor, karena mereka punya sarana, biaya dan personil untuk melakukan pemantauan.

Kadang Dianggap Sepele 
Namun, yang menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dan bagi kita semua yang ingin tetap sehat adalah saat pelaksanaan pesta perkawinan atau pesta-pesta jenis lain yang menghadirkan ratusan bahkan ribuan orang mengalami kesulitan penerapan protokol kesehatan.

Bahkan kadang “dianggap sepele”. Mereka anggap protokol kesehatan hanya berlaku di zona merah dan hitam, sedangkan di kepulauan Nias baru di kota Gunungsitoli ada positif covid 19 satu orang.

Selain itu penerapan protokol kesehatan pada pesta perkawinan dapat membuat  situasi menjadi tegang dan kaku serta nilai sakralnya memudar. Bayangkan, pada semua pakai masker, jaga jarak, tidak salaman, membatasi berbicara dengan orang lain, anak-anak tidak boleh ikut dan lain-lain. Padahal saat pesta itu merupakan waktu indah bagi semua famili/keluarga untuk bertemu dan melepas rindu.

Disatu sisi pendapat tersebut di atas bisa dipahami. Bagi pengundang/tuan rumah sulit : menyediakan tempat cuci tangan, mengatur jarak tempat duduk, menghindari salam dari tamu dan lain-lain.  Akan tetapi disisi lain penerapan protokol kesehatan saat pandemi covid 19 merupakan kewajiban  setiap orang untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bersama.

Seandainya tuan rumah dalam hal ini panitia pelaksana pesta menyuruh setiap tamu : cuci tangan, menjaga jarak, tidak salaman, memakai  masker, periksa suhu badan dan lain-lain bisa-bisa para tamu tersinggung dan merasa dipermalukan. Mengapa? Anjuran protokol kesehatan seperti pakai masker bagi yang belum biasa memakai bisa mengganggu pernafasan dan  dianggap sebagai beban karena belum membudaya. Pun pula, seandainya ada seorang undangan tidak pakai masker dan suhu badannya tinggi. Apakah disuruh pulang?

Keenggangan orang mematuhi protokol kesehatan tidak hanya pada pesta pekawinan atau pesta jenis  lain, juga para pedagang dan membeli di pasar tradisional maupun modren, pengendara motor, sopir dan penumpang angkot dan lain-lain  jarang yang menggunakan masker. Kalau pun punya masker mereka simpan di tas atau kantong baju/jelana. Hal ini menunjukan bahwa mematuhi protokol kesehatan belum menjadi kebutuhan, melainkan dipakai hanya karena ketakutan ditegur dan diberi sanksi oleh aparat yang berwewenag.

Inilah tugas berat bagi pemerintah daerah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, ormas, orpol, tokoh masyarakat dan lain-lain untuk menjadikan protokol kesehatan seperti : cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, tidak bersalaman, cipika cipiki, tinggal dirumah, hindari kerumunan dan lain-lain menjadi kebiasaan masyarakat dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Ingat, covid 19 akan berakhir secara pelan-pelan tetapi pasti, apabila seluruh elemen masyarakat membudayakan protokol kesehatan. 
Apabila protokol kesehatan telah menjadi kebiasaan dan membudaya dalam hidup sehari-hari, itu berarti telah berhasil menciptakan hidup “new normal” atau istilah baru yang dipopulerkan oleh juru bicara pemerintah untuk covid 19 Ahmad Yulianto yaitu : “Adaptasi kebiasaan baru”. Perbedaan istilah ini, tidak perlu diperdebatkan, melainkan kita jalankan dengan sungguh-sungguh untuk kesehatan dan kehidupan bersama.

Akhirnya kepada para sahabat, teman, kenalan dan lain-lain, saya menyatakan dengan sangat menyesal tidak bisa datang pada : undangan pesta perkawinan atau pesta jenis lain, saat kemalangan, pertemuan /rapat dan lain-lain. Semua itu saya lakukan hanya semata-mata untuk menghargai protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kalau bukan kita yang mematuhinya, lalu siapa lagi? Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi ? Semoga bisa dipahami. Mari bersama lawan corona. Salam Sehat. (Tim/Red)

Ditulis Oleh:  Adrianus Aroziduhu Gulo, SH,. MH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOSOK