Uang Saksi, Pimpinan Parpol di Daerah Kewalahan - Gelora Hukum
IKLAN

Breaking

Rabu, 04 September 2019

Uang Saksi, Pimpinan Parpol di Daerah Kewalahan

Oleh : Adrianus Aroziduhu Gulo, SH., MH.
GUNUNGSITOLI, GELORA HUKUM - Sebagai bangsa yang cinta damai wajib bersyukur bahwa pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden pada 17 april 2019 telah terlaksana dengan aman dan terkendali di seluruh pelosok tanah air. 

Walaupun di beberapa daerah terjadi kecurangan dan pelanggaran, namun telah diselesaikan secara berjenjang oleh Bawaslu, sehingga kecurangan dan pelanggaran tersebut tidak memengaruhi hasil pemilu secara nasional.  Hal ini tidak terlepas dari dukungan semua pihak seperti: masyarakat, pemerintah, KPU, Bawaslu, parpol, LSM, relawan, saksi,dll.

Setelah pengumuman resmi dari penyelenggara pemilu di masing masing tingkat, keberatan dari peserta pemilu telah disalurkan sesuai mekanisme yang  diatur oleh undang-undang dan terakhir Mahkamah Konstitusi  telah membuat keputusan final yang tidak dapat digugat lagi.    

Walaupun kenyataan masih ada beberapa peserta pemilu yang kurang puas atas hasil penyelesaian kecurangan dan pelanggaran pemilu tersebut. Namun hal itu sesuatu yang wajar dalam alam demokrasi yaitu ada yang puas dan ada yang kecewa, malah sebutan “menang dan kalah” adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam berdemokrasi.

Kendatipun pemilu telah terlaksana secara aman dan terkendali, bukan berarti bebas dari tantangan. Salah satu tantangan yang sangat serius yang dialami para peserta pemilu, baik partai maupun perorangan adalah saksi pada tiap TPS,PPK, KPUD. Kenapa? Sangat berkaitan dengan kesiapan dana dari partai politik dan perorangan(saksi pribadi) 
Kesulitan Mencari Saksi.

Menurut penuturan  beberapa pimpinan parpol di wilayah Nias Barat kepada penulis bahwa, mereka kekurangan uang saksi. Apabila menugaskan sesorang menjadi saksi, kosekwensinya adalah uang. 

Sebementara DPC parpol atau sebutan lain di tingkat  kabupaten keuangnnya sangat terbatas, apalagi kalau partai kecil, partai baru dan belum ada perwakilannya di DPRD. Darimana sumber keuangnya parpol? Bagi partai yang ada perwakilan di DPRD, mereka dapat bantuan dari Pemerintah Daerah sesuai perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Ada beberapa DPP/DPD parpol membantu, namun tidak sebanding dengan tututan uang saksi di lapangan. Sumbangan para caleg? Itupun tidak semua bayar, kalau ia hanya caleg pemenuhi kuota, ia tidak akan mau menyumbanng, bahkan ia dibantu uang untuk mengurus kelengkapan adminitrasi sebagai caleg.

Selain kesulitan uang, mencari orang pun sulit. Mengapa? Pada umumnya saat seseorang diminta menjadi saksi mereka jual mahal. Kalau pun sudah dapat calon saksi(orang), harus dimusyawarahkan dulu dengan caleg lain, agar tidak terjadi kecurigaan satu dengan yang lain. Apabila sudah ada kesepakatan para caleg bahwa si B disetujui mejadi saksi partai, maka si B dihubungi. 

Apa jawaban calon saksi? Sangat mengejutkan. Pada umumnya kalau mereka diminta saksi, mereka tidak segan-segan membandingkan besarannya dengan partai lain. Kata mereka partai A sudah menawarkan kami perorang  saksi pada TPS sebesar Rp.500.000 , PPK sebesar Rp.1.000000 , KPUD sebesar Rp. 1.500.000.

Mereka berargumen: Kami rasa  uang saksi sebesar itu di  masing masing tingkat wajar karena harus tunggu sampai selesai perhitungan suara dan perhitungan suara sekali ini di TPS diperkirakan baru selesai sampai kamis pagi/siang. Sedangkan perhitungan suara di tingkat PPK dan KPUD bisa 3 sampai 5 hari.  Itu baru dari segi waktu, belum lagi dari segi   ancaman dari pihak tetentu yang ingin menang dengan cara curang.

Kedua masalah inilah yang membuat pimpinan parpol dan caleg pusing kepala. Apalagi saksi di masing masing tingkat minimal satu orang. Kalau saksinya lebih dari satu orang, tentu biayanya semakin besar. Sementara di lapangan memang sangat dibutuhkan saksi lebih dari satu orang, agar mereka bisa saling bergantian menyaksikan dengan teliti proses perhitungan suara dari awal sampai selesai. Akibatnya, bagi parpol dan caleg yang tidak cukup  atau terbatas uangnya, mereka tidak punya saksi di TPS,PPK,KPUD, hehehe.... kasihan.

Apa dampaknya? Bagi penyelenggara pemilu di masing masing tingkat yang tidak kuat iman, tidak taat hukum akan tergoda dengan tawaran jahat dari seseorang caleg atau suruhannya untuk melakukan penggelembungan suara  dengan imbalan caleg tersebut memberikan beberapa juta rupiah. Ini nyata, hanya tidak dapat dibuktikan secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum. 

Seperti kata orang bijak, pelanggaran pada pemilu terutama pileg seperti “angin” ketika ia datang terasa dinginnya, akan tetapi ketika ia pergi tidak terasa atau seperti “kentut” ketika datang bau busuknya terasa menyengat hidung, akan tetapi ketika pergi tidak terasa. Hehehe.......tidak bermaksud menyampaikan kata kata kotor, hanya sekedar mempermudah pemahaman betapa pentingnya saksi.

Saksi tidak hanya sekedar  memenuhi persyaratan Undang-undang, sebagaimana diatur  beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemeilihan Umum, salah satu contoh Perhitungan Suara di di TPS pasal 382 ayat (3) mengatakan:”Perhitungan suara Peserta Pemilu di TPS disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu”. Melainkan saksi harus diseleksi ketat dan dilatih. Mengapa? Secuil keluhan seorang caleg. Aduh... di dapil I saya punya satu orang saksi di setiap TPS. Namun ada beberapa TPS saya tidak punya suara(pemilih). Saksi saya di baberapa TPS tersebut kepada siapa mereka berikan suaranya? Wah......terlalu banget... penipu, pengkhianat. Mudah-mudahan caleg lain tidak mengalaminya.

Demokrasi Butuh Biaya Besar.
Kalau sepakat bahwa saksi pada pemilu di masing masing tingkat keberadaannya dapat menciptakan pemilu yang “ Jurdil”, maka sudah selayaknya semua pihak perlu mencari solusi dana untuk saksi terutama pimpinan partai politik maupun negara. Apa gunanya pemilu mengeluarkan biaya puluhan Triliun rupiah sementara kecurangan dipertontonkan dimana-mana?.  Memang pada tahun 2018 eksekutif dan DPR pernah membahas biaya saksi ditampung pada APBN 2019. Bahkan anggota Banggar DPR mengusulkan biaya saksi pemilu sebesar Rp 3,5 Triliun kepada pemerintah. Akan tetapi usul tersebut pemerintah sulit mengakomodir karena dasar hukum tidak ada.  Selain dasar hukum dana saksi tidak ada, para elit politik pun dalam  menanggapi terjadi   pro kontra.

Lucunya lagi, ada pimpinan partai politik, LSM dan Ormas dengan arogan mengatakan: “kalau tidak punya uang jangan mendirikan partai”. Sebaiknya komentar yang tidak mendidik ini jangan terulang lagi. Mengapa?  Selain bertentangan dengan prinsip demokrasi, juga mereka tidak memahami bahwa menuju demokrasi  kultural perlu tahap tahap dan biaya yang besar. Salah satu tahapnya adalah: negara melalui undang-undang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk berserikat seperti mendirikan partai, ormas, okp, paguyuban,lsm,dll. Dimana saat orde baru kebebasan berserikat sangat dibatasi, apalagi mendirikan partai politik. Jika berani, saat itu akan dituduh makar.

Tahap di atas dapat disebut tingkat demokrasi struktural . Tanpa melalui tahap ini demokrasi kultural tidak pernah terwujud. Demokrasi kultural meliputi: kesadaran hukum masyarakat, kesadaran menetukan pilihan berdasarkan kebebasan( bukan karena uang/paksaan,famili), pemilu dianggap sebagai kewajiban, keteladanan para elit, berkompetisi sehat, menerima kekalahan dengan lapang dada, tidak eforia dalam kemenangan, janji adalah utang yang harus dipenuhi, siap dikritik, mengedepankan musyawarah-mufakat dalam setiap penyelesain  masalah, kebebasan berpikir tidak diadili serta ruang dialog dibuka.

Diskusi panjang para elit tentang dana saksi pemilu harus segera diakhiri. Negara harus hadir mengatasinya. Mengapa ? Menurut pengalaman emperis penulis, dikaitkan dengan kondisi di daerah bahwa beberapa parpol dan caleg pada pemilu yang lalu tidak menugaskan saksi di TPS,PPK,KPUD, karena ketidaksanggupan dana saksi. Apabila hal ini dibiarkan, seperti membiarkan kecuranga dan  pemilu tahun 2024 hasilnya tidak jauh beda dengan hasil pemilu 2019, malah bisa bertambah parah.

Untuk itu negara harus hadir dengan menyediakan dana saksi pada APBN. Dan dana tersebut harus betul betul diawasi agar pimpinan parpol pusat mendistribusikan uang saksi ke daerah secara merata dan benar.  Negara wajib melindungi semua parpol dan caleg dari kesewenang-wenangan oknun yang berniat jahat. Penulis yakin jika semua parpol dan caleg menugaskan saksinya yang terlatih/ militan/profesional/setia/tidak mudah dipengaruhi pada setiap TPS, PPK, KPUD, kecurangan dapat dihindari. Sebab kecurangan dan pelanggaran pemilu terjadi, karena ada peluang, kesempatan dan niat jahat dari seseorang.

Penulis menyadari tidak punya kapasitas dalam menyarankan tentang dana saksi pemilu ditampung pada APBN. Penulis hanyalah masyarakat biasa yang tidak punya kewenangan dan jabatan apa apa, namun siapa tahu para pengambil kebijakan di pusat tergerak hatinya memperhatikan kesulitan parpol di daerah. Apalagi dana saksi bukan hal yang baru, pernah dibahas oleh Banggar DPR RI dengan Eksekutif pada tahun 2018 atau saat pembahasan undang undang pemilu. Pun pula, dengan ditampungnya dana saksi pemilu pada APBN negara tidak akan bangkrut dan tuduhan beberapa pimpinan parpol bahwa pemerintah tidak netral dan hanya memperhatikan partai tertentu tidak beralasan lagi.  Semoga diperhatikan demi mengawal demokrasi. (Timred)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOSOK