![]() |
Oleh : Firman Jaya Daeli (Mantan Komisi Politik Dan Hukum
DPR-RI)
|
Jakata, Gelora Hukum - Diskusi Publik diselenggarakan oleh Ormas (PP PMKRI), dengan
Tema : “Menakar Peluang Politisasi Isu SARA Menuju Pilpres 2019”. Penyelenggara
mengundang sejumlah Pembicara, yaitu : (1). Firman Jaya Daeli (Politisi PDI
Perjuangan dan mantan Komisi Politik Dan Hukum DPR-RI) ; (2). Martin Hutabarat
(Politisi Partai Gerindra dan Anggota DPR-RI) ; (3). Rohim Ghazali (LHKP
Pimpinan Pusat Muhammadiyah) ; (4). Hadi Suprapto Rusli (pengamat politik Indo
Barometer).
Indonesia
Raya dari semula sudah menjadi sebuah negara bangsa kuat dan bersatu disebabkan
karena keberadaan Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam dan berbagai macam
suku, etnik, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan,
profesi, dan lain-lain. Keanekaragaman dan kemajemukan yang mewujud dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini semakin mengukuhkan dan meneguhkan kehadiran
Indonesia Raya dalam perkembangan dan pergaulan di antara negara-negara kawasan
dan dunia internasional. Justru karena Bhinneka Ika inilah yang merupakan basis
kuat dan kemudian menjadikan masyarakat bangsa Indonesia semakin bersatu dan
berdaulat. Kekayaan Indonesia akan kepelbagaian dan kebhinnekaan latar belakang
masyarakat Indonesia sudah merupakan fakta historis dan kenyataan sosiologis.
Tugas
panggilan dan tanggungjawab moral bersama untuk mempertahankan dan menumbuhkan
semangat dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Falsafah dan ideologi Pancasila
juga berdiri tegak lurus untuk mendukung dan menjalankan Bhinneka Tunggal Ika
yang berintikan pada adanya berbagai suku, etnik, adat istiadat, budaya,
bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan, profesi. Sila-Sila Pancasila
memastikan untuk terus menerus membangun masyarakat Indonesia secara
berkemanusiaan, dan memperlakukan masyarakat dengan penuh nilai kemanusian dan
keadaban tanpa membeda-bedakan dan tanpa mendiskriminasi warga masyarakat
apapun latarbelakangnya. Fakta dan kenyataan masyarakat dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) memang sungguh-sungguh amat berbhinneka. Lagi pula
kebhinnekaan ini justru semakin memperkuat Indonesia, sehingga sesungguhnya dan
semestinya tidak perlu ada lagi pikiran, sikap, tindakan, dan gerakan aneh yang
mencoba-coba menggulirkan, memainkan, dan menggoreng issue SARA. Mencoba-coba
saja issue SARA sudah jelas tidak memiliki dasar etik moral melakukannya
apalagi mempraktekkan dan mempolitisasi issue SARA sudah pasti tidak mendapati
tanggapan, perhatian, dan dukungan masyarakat. Malahan akan ditentang dan
dilawan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia jikakau masih ada segelintir kecil
dan kalangan terbatas yang mengusung dan mempolitisasi issue SARA.
Pewacanaan
issue SARA oleh segelintir kecil dalam bentuk politisasi issue SARA pada
dasarnya merupakan kepentingan pribadi dan kelompok segelintir kecil tersebut.
Pewacanaan ini bukan karena berdasarkan kepentingan umum dan kehendak
masyarakat, tidak juga karena berdasarkan kebutuhan khalayak dan keinginan
bangsa Indonesia. Apabila masih ada juga sekelompok kecil yang masih betah
membawa-bawa issue SARA dengan memanfaatkannya secara brutal dan vulgar maka
dapat dipastikan bahwa pemanfaatan tersebut akan mental dan terpental dengan
sendirinya secara langsung.
Sistem
politik yang konstitusional (berbasis konstitusi UUD 1945) dan sistem politik
yang elektoral (berbasis pemilu dan kedaulatan rakyat) secara apapun pasti
menyandarkan diri dan meletakkan posisi pada kualitas visi, misi, program
Partai Politik (Pileg) dan Pasangan Calon (Pilpres dan Pilkada). Dan juga
berkaitan dan berpedoman pada profesionalitas, integritas, kredibilitas, dan
kualitas rekam jejak, pengalaman, dan kematangan sistem kepartaian dan
personalitas orang sebagai calon di ranah pileg, pilpres, dan pilkada.
Sekelompok kecil orang dan segelintir kecil manusia yang melakukan politisasi
issue SARA disebabkan karena beberapa faktor. Pertama. Karena kurang dan tidak
memiliki sama sekali dan sedikitpun perihal yang baik, benar, positif,
berhasil, dan berprestasi yang harus disosialisasikan, dikampanyekan, dan
diberitahukan kepada masyarakat umum dan masyarakat pemilih. Kedua. Karena
kurang dan tidak memiliki kualitas visi, misi, program yang layak, pantas,
rasional, logis, dan diterima publik. Ketiga. Karena kurang dan tidak memiliki
pengalaman matang kemampuan memadai, kepercayaan diri mumpuni, dan kepribadian
kuat yang diperhitungkan dan dinilai masyarakat. Akibat selanjutnya adalah
modal issue satu-satunya yang tersisa dan terpakai adalah melakukan politisasi
issue SARA. Ada juga sebagian terbatas dan sekelompok kecil yang tidak
mengikuti kontestasi pemilu apapun namun memiliki nafsu besar dan ambisi tinggi
untuk memperalat kontestan melalui pola aliansi dan kolaborasi jahat serta
memanfaatkan momentum di luar sistem dan jalur demokratis konstitusional
(Pemilu) dengan cara menggunakan dan memainkan issue SARA. Misi dan agenda ini
berintisari pada motif politik kekuasaan dan pergantian atau perubahan
ideologi, sistem, dan prinsip-prinsip mendasar berbangsa dan bernegara.
Meskipun
politisasi issue SARA masih dimanfaatkan, digoreng, dan dimainkan oleh
sekelompok terbatas dan segelintir kecil kaum radikal fundamentalis ekstrimis
namun gerakannya semakin menjadi kecil dan tidak mempengaruhi apa-apa secara
memadai bahkan tidak “menendang” sedikitpun. Mengecilnya dan semakin memudarnya
gerakan yang mengusung dan membawa-bawa issue SARA disebabkan karena semakin
tidak berpengaruh lagi dan tidak mendapat tanggapan sedikitpun dan tidak
menerima dukungan sekecilpun dari masyarakat. Komunitas masyarakat dan bangsa
Indonesia sudah semakin mengetahui dan menyadari bahwa gerakan dan aksi
politisasi issue SARA adalah hanya merupakan gerakan kecil dari kalangan
terbatas yang bermotif kepentingan pribadi dan kelompok kecil. Elemen ini hanya
dan selalu bermodalkan issue SARA dengan mengatasnamakan bahkan mencatut.
Gerakan dan aksi politisasi ini sesungguhnya bersifat tong kosong dan lagi pula
sudah kehilangan makna dan telah kehilangan pijakan relevansi apapun.
Indonesia
Raya secara sosiologi budaya pada intinya merupakan gugusan dan kawasan wilayah
kerakyatan yang terdiri atas beraneka ragam dan berbagai macam suku, etnik,
adat istiadat, budaya, bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan, profesi, dan
lain-lain (Bhinneka Tunggal Ika). Kenyataan sosiologi budaya ini tidak bisa
dinafikan dan dihilangkan dengan melakukan politisasi issue SARA karena issue
SARA yang dimainkan pasti dan tetap mental dan terpental langsung dengan
sendirinya. Indonesia Raya secara sosiologi politik pada dasarnya memiliki
sejarah lama dan panjang mengenai aspirasi masyarakat di dalam setiap Pemilu
(Pileg) dan juga Pilpres. Masyarakat umum dan masyarakat pemilih senantiasa
menghendaki keterbukaan dan kebhinnekaan, juga mendukung, memilih, dan
memenangkan visi, misi, program, agenda kebangsaan dan kebersamaan. Pesan moral
politik di balik ini adalah bahwa masyarakat dan pemilih dengan tegas dan
secara terang benderang menolak dan melawan politisasi issue SARA. Indonesia
Raya secara sosiologi ekonomi pada gilirannya berorientasi pada kemauan untuk
menuju, merasakan, dan menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Materi program strategis dan kegiatan teknis yang ditawarkan dan dijalankan
untuk membangun dan menggerakkan perekonomian maka akan didukung dan
selanjutnya didorong oleh masyarakat. Gerakan dan aksi politisasi SARA akan
tenggelam dan hilang ditelan bumi oleh gerakan dan aksi kebhinnekaan,
kebangsaan, dan keekonomian yang bergotong royong. Lawan dan hentikan
politisasi issue SARA. Selamat tinggal politisasi SARA. “Jalan” tempuh dan
“rumah” tinggal bersama masyarakat dan bangsa Indonesia yang menetap adalah
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi NKRI yang berdasarkan UUD 1945 dengan
Bhinneka Tunggal Ika melalui keadaban sistem politik dan sistem demokrasi.
(Timred).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar