DEMI GENGSI RELA BERUTANG - Gelora Hukum
IKLAN

Breaking

Selasa, 05 November 2019

DEMI GENGSI RELA BERUTANG

Oleh, Adrianus A Gulo, SH, MH,.
SUMUT, GELORA HUKUM - Pada umumnya orang bependapat bahwa kemeriahan pesta dapat dilihat dari  faktor antara lain : jumlah undangan/pejabat yang hadir, menu makanan, tempat,dll. Apabila yang  melaksanakan pesta orang nias, salah satu unsur kemeriahan yaitu berapa ekor babi dipotong untuk disuguhkan dagingnya kepada  undangan dan “simbi”(raha,ng )  kepada para tamu terhormat. Penyuguhan simbi kepada tamu  merupakan wujud penghormatan tertinggi  menurut adat istiadat yang telah berakar di beberapa daerah di wilayah kepulauan Nias, salah satunya nias barat.

Selain penghormatan kepada tamu, juga, mengandung makna mempertankan “gengsi” dengan memotong puluhan ekor hewan saat pesta seperti: perkawinan, gereja, owasa( mendapat   gelar adat), menang : pilkades/pilkada/pileg, menempati  rumah baru, dll. Bahkan saat orang meninggal terutama ketua adat/balugu, juga dipotong puluhan ekor hewan. Dampaknya? “Bukan sengsara membawa nikmat, melainkan nikamat membawa sesangsara”, Mengapa? Demi gengsi rela berutang. Sebab memaksakan pesta meriah  diluar kemampuan.

Fenomena inilah  membuat penulis saat menjabat di nias barat sedikit cerewet jika ada orang yang mengantarkan undangan pesta. Sering penulis menasehati : Jangan terlalu banyak mengeluarkan biaya, terutama motong hewan yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. 

Kalau bapak punya uang lebih baik disimpan dan dipergunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Saat itu mereka mengiakan, seraya menjawab : ia pak kami akan musyawarahkan dan melaksanakannya.

Namun apa yang terjadi pada H? Luar biasa. Contoh pernah saya hadir pada : salah satu pesta/peresmian gereja, simbi sebanyak ± 94 buah, pesta perkawinan, simbi sebanyak  =  60 buah, pesta syukuran salah satu anggota DPRD simbi sebanyak  ± 40 buah, syukuran atas meninggal orang tua, simbi sebanyak  ± 35 buah,dll. Penulis pernah diundang pada pesta seorang Plt kepala desa, namun karena sesuatu halangan yang sulit dihindari saya tidak bisa hadir,  juga dipotong babi ± 21 ekor. 
Sesungguhnya penulis tidak dalam posisi melarang, hanya sifatnya menyarankan, sebab bagi orang  mampu biaya itu tidak seberapa, tetapi bagi orang sedang-sedang, apalagi tidak mampu sangat memberatkan. 

Pun pula dari segi ekonomis kurang bermanfaat. Contoh, pada pesta gereja dipotong hewan 94 ekor untuk dibagikan kepada undangan dan tamu.  Kadang daging itu tidak habis , karena itu dibagikan bagi yang hadir. Pernah dititip  daging untuk saya bawa pulang, sebelum sampai di rumah daging itu sudah mulai basi. Sungguh mubajir.  Hanya sekedar menunjukan gengsi bahwa mereka “mampu”.

Tidak bermaksud berkhayal. Coba bayangkan hewan yang 94 ekor tesebut diuangkan, jika  harga rata-rata perekor sebesar  Rp. 1.500.000, akan terkumpul uang sebanyak 94 x 1.500.000 = 141.000.000,00. Uang sebanyak itu bisa membangun 1(satu) unit rumah sederhana untuk pendeta jemaat. Demikian juga pesta peresmian kepala desa, baru pelaksana tugas berani melaksanakan pesta semeriah itu?  Semoga tidak berefek negatif pada pengelolaan dana desa.

Sebagai pimpinan saat itu penulis sangat prihatin. Mengapa? Apabila tradisi dan kebiasaan pesta ini tidak disederhanakan akan menciptakan “kemiskinan baru”. Kondisi ini penulis sering  curhat(curahan hati) kepada tokoh : adat, masyarakat, agama, pendidikan, pemuda, dll. 

Respon para tokoh sangat positif dan mengharapkan ada perubahan, walaupun ada sebagian kecil tokoh yang tidak sepaham, walaupun tidak  menyampaikannya secara langung. Namun komentar mereka diluar mengatakan : Bapak itu bukan tokoh adat, kikir dan pelit. Pantas ia mengatakan demikian, saat ia pesta/syukuran beberapa tahun yang lalu saat menang pilkada. Sangat menyedihkan “lebih meriah pesta peresmian kepala desa”

Syukuran Jauh Dari Kemewahan
Setelah menang pilkada 2011, kami  menyadari ( Adrianus Aroziduhu Gulo – Hermit Hia, disingkat Aaroohe) bahwa berterima kasih tidak cukup hanya dengan niat, hanya dengan kata-kata serta ucapan yang indah, melainkan ucapan syukur harus diwujudkan dalam bentuk ungkapan, tindakan dan perbuatan disertai dengan ikhlas. Karena itu kami sepakat setelah  syukuran di Jakarta, Aula Paroki Salib Suci Mandehe dan di rumah masing-masing  akan  melakasanakan syukuran bersama di kampung saya desa Hiliduho kecamatan moroo dalam bentuk sedehana, tanpa mengurangi nilai-nilai lokal.

Tidaklah berlebihan kalau kami katakan bahwa bisa melaksanakan pesta besar, mewah dengan  mengundang ribuan orang dan memotong puluhan malah ratusan hewan/babi. Mengapa?  Banyak orang menawarkan termasuk pimpinan SKPD  siap membantu biaya.   Para famili juga siap membawa satu ekor babi. Namun, saya dan bapak Hermit Hia sepakat bahwa biaya syukuran di Moroo dari uang sendiri dan tidak menerima bantuan dari siapapun termasuk pimpinan SKPD dan rekanan serta tidak menggunakan uang APBD.

Kendati pesta sangat sederhana dengan memotong babi sebanyak 15 ekor dan 1 ekor kambing, namun undangan yang hadir sekitar 900 orang dan dihadiri para tokoh masyarakat lokal, gunungsitoli dan bapak Fona Marunduri, dkk dari jakarta serta tiga orang mantan guru saya saat SD dan SMP. Situasi pesta yang belangsung selama empat jam penuh suasana kekeluargaan dan tanpa keributan, karena kami tidak menyuguhkan minuman  beralkohol seperti pesta di tempat lain, yang pada akhirnya mabuk dan berkelahi.

Saat syukuran di beberapa tempat diatas, penulis menyampaikan beberapa pesan-pesan politik dan moral, salah satu  pesan tersebut  yaitu: Saya selaku bupati Nias Barat yang telah mendapat mandat dari masyarakat, berjanji  tidak seperti  “ikan busuk” , karena ikan yang sudah mati proses pembusukannya mulai dari kepala bukun dari perut atau ekor. Kalau kepalanya busuk (bupati) apalagi perut dan ekor ( staf –anggota) pasti semakin busuk.

Berterima kasih dan bersyukur yang diwujudkan dalam bentuk pesta/peresmian adalah bentuk tanda iman. Bersyukur dengan ikhlas akan membawa kesejukan, kegembiraan bukan perpecahan. Apalagi kalau menambah beban baru yaitu “utang”. 

Syukur yang berkenan dihadapan Tuhan harus jauh dari ; hura-hura, euforia, menghambur-hamburkan uang, gengsi, pencintraan, pamer kekuasaan, pamer kekayaan,dll. Bersyurkur dalam bentuk pesta, perlu memperhatikan lingkuangan, agar tidak terjadi kecemburuan sosial di tengah masyarakat.

Penulis bekeryakinan bagi orang yang punya hati nurani dan etika, ia akan melaksanakan pesta/syukuran dengan rendah hati dan biaya dari uangnya sendiri dan tidak akan menerima biaya dari pihak lain. Demikiaan juga, jika seandainya ada seorang pejabat yang melaksanakan syukuran dalam bentuk pesta, hendaknya tidak minta sumbangan pada SKPD, rekanan, famili, apalagi dari uang APBD. 

Kalau itu terjadi sangat memalukan, sebagaimana pernah saya dengar di suatu daerah yang gemar pesta, malah tiada hari tanpa pesta. Disini pesta, disana pesta. Dimana-mana pesta. Lalu, kapan kerja? Malu kalau didengar daerah yang lain.

Akhirnya penulis berharap kiranya tulisan ini menjadi setitik air yang mengurangi kehausan  akan pesta yang  menjurus hura-hura, gengsi, pamer kekayaan/kehebatan dan yang lebih parah lagi menganggap pesta dapat menaikan “kelas”. Mari mencoba dan jangan marah apabila direndahkan, diremehkan, disindir, hanya karena  tidak mampu melaksanakan pesta besar. Berpestalah sesuai kemampuan. Pasti bisa. Oleh Adrianus Aroziduhu Gulo. (Tim/red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOSOK