![]() |
Oleh : Firman Jaya Daeli (Mantan Komisi Politik Dan Hukum
DPR-RI)
|
Jakarta, Gelora Hukum - Konstitusi UUD
1945 secara meyakinkan sudah merumuskan dengan sangat jelas dan tegas mengenai
Pancasila. Perumusan materi Sila-Sila Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945
pada dasarnya menyampaikan pesan tegas dan tekad keras akan keberadaan
Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keabsahan konstitusional Pancasila tidak hanya sekadar karena tercantum dan
tertera di dalam Pembukaan UUD 1945, melainkan juga karena kenyataan sosial dan
kebenaran kultural. Sila-Sila Pancasila sungguh-sungguh merupakan pengalaman
dan pergerakan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pengalaman dan
pergerakan ini adalah sifat kepribadian dan sikap kebudayaan yang luhur dan
manusiawi dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Sifat dan sikap ini merupakan
gugusan kenyataan dan rangkaian kebenaran atas perjalanan dan perkembangan
Indonesia. Hal ini makin mengukuhkan Pancasila sebagai sebuah cerminan faktual
dan aktual Indonesia Raya.
Pancasila
memiliki kewibawaan moral dan kekuatan kultural karena secara otentik merupakan
Indonesia yang "sesungguhnya dan senyatanya". Pancasila digali Bung
Karno dari tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia, digali dari sifat
kepribadian dan sikap kebudayaan nasional, digali dari peradaban Indonesia
Raya. Pancasila digali dari kehidupan dan kepribadian nasional Indonesia.
Pancasila tidak menjaga jarak, tidak berjarak, dan tidak asing dengan
Indonesia. Pancasila justru melekat langsung dengan Keindonesian, dan sudah
bersama dengan Keindonesiaan sejak dahulu kala sampai seterusnya. Pancasila
senantiasa berdiri tegak, berjalan kuat, dan bergerak dinamis sebagai sebuah
ideologi yang melandasi dan mendasari keberadaan dan kemajuan NKRI untuk
mewujudkan tujuan nasional dan janji-janji Proklamasi Kemerdekaan.
Pemikiran
ideologis dan pertimbangan historis ini yang kemudian mengukuhkan Pancasila
secara konstitusional di dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila diakomodasi dan
diwadahi di dalam Pembukaan UUD 1945 karena merupakan falsafah dan etos
masyarakat dan bangsa Indonesia, yang menjadi ideologi dan dasar NKRI. Teks
Tujuan Nasional NKRI dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar NKRI terterakan
dan teramanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945 - untuk selalu mengingatkan dan
memastikan bahwa Pancasila mesti diamankan dan dijalankan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Titik awal berangkat, proses dinamika berjalan,
dan arah akhir orientasi perjuangan dan pencapaian tujuan nasional harus terus
menerus diselenggarakan berlandaskan dan berdasarkan Pancasila. Pembukaan UUD
1945 memuat keberadaan dan kehidupan Indonesia Raya. Materi muatan ini sungguh
amat bersifat prinsipil dan merupakan dasar-dasar terpenting dan terutama dari
pemerdekaan (pendirian, pembentukan, dan pemajuan) Indonesia. Pancasila dan
prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan terkandung jelas dan kuat di
dalam Pembukaan UUD 1945. Eksistensi NKRI ada di dalamnya sehingga Pembukaan
UUD 1945 tidak dapat diganggu gugat bahkan tidak boleh diubah.
Pancasila
tambah bersinar terang benderang manakala diaktualkan, dijalankan, dan
dibumikan secara utuh dan menyeluruh. Sila-Sila Pancasila difahami dan
disemangati untuk diwujudkan maknanya dengan saling melengkapi dan menguati.
Pemaknaan Pancasila semakin menemukan ruang bermanfaat dan mendapatkan pijakan
berguna ketika Sila-Sila Pancasila tumbuh subur penyelenggaraannya dengan
saling menyempurnakan dan memajukan. Penyelenggaraan Pancasila secara utuh dan
menyeluruh dengan format dan pola seperti ini pada gilirannya melahirkan dan
membangkitkan toleransi. Dan sekaligus menguburkan dan meniadakan intoleransi
dengan segala yang beraroma ekstrimisme, fundamentalisme, dan radikalisme dalam
aliran tertentu. NKRI dengan ideologi Pancasila menawarkan dan menyediakan
keragaman (Bhinneka Tunggal Ika). Pancasila adalah sebuah ideologi NKRI yang
mengandung dan menjamin keterbukaan dan kebhinekaan. Doktrin ini secara pasti
dan tegas tidak pernah bahkan tidak akan menawari dan memberi sebuah perspektif
tunggal dan tertutup yang wajib berlaku untuk dikenakan dan diterapkan bagi
seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat berbhinneka. Apalagi jika
perspektif tunggal dan tertutup tersebut bertentangan dan menentang hakekat dan
kodrati Indonesia Raya yang plural, majemuk, aneka ragam (Bhinneka Tunggal
Ika). Lebih-lebih lagi jika perspektif tersebut berlawanan arah dan
bersimpangan nafas dengan Pancasila. Masyarakat dan bangsa Indonesia (negara
bangsa) tidak dilahirkan, tidak didirikan, tidak diperuntukkan, dan tidak
dikenal hanya dengan seni dan budaya tunggal, adat istiadat tunggal, bahasa dan
busana daerah tunggal, profesi dan golongan tunggal, suku dan etnik tunggal,
agama dan kepercayaan tunggal. Indonesia justru bertahan, berkekuatan, dikenal,
dan diperhitungkan karena terdiri dari beragam dan berbhinneka agama dan
kepercayaan, suku dan etnik, profesi dan golongan, bahasa dan busana daerah,
adat istiadat, seni dan budaya.
Kemaknaan
dan kemanfaatan sistem nilai Ketuhanan akan mengakar kuat dan menumbuh subur
ketika sistem nilai Ketuhanan dibumikan secara otentik dan didaratkan secara
utuh menyeluruh bersama dan bertalian dengan sistem nilai Sila-Sila Pancasila. Ketuhanan
mengandung terminologi yang "berkehidupan dan bergerak". Hal ini
merupakan sebuah atmosfir Ketuhanan yang hidup dan bergerak menafasi konteks
Sila-Sila lain dalam Pancasila. Pernafasan ini diorganisasasikan melalui
Ketuhanan yang membangun landasan etik, moral, dan spritual. Posisi landasan
dalam konteks ini adalah sebuah atmosfir Ketuhanan yang hidup dan bergerak yang
menyinari dan mewarnai etika, moralitas, dan spritualitas Pancasila. Ketuhanan
Yang Maha Esa tambah berarti dan semakin bermakna ketika didekati dan diisi
dalam bentuk kesalehan substansial kerakyatan dan kesalehan substansial
kebangsaan ; serta kesalehan sosial kemanusiaan dan kesalehan sosial keadilan.
Bukan hanya sekadar ketaatan ritual seremonial yang kehilangan kontekstualisasi
Pancasila ; tidak hanya sebatas ketaatan individual primordial yang kekosongan
relevansi Pancasila. Inilah Ketuhanan yang membumi dan mendarat. Spritualitas
Ketuhanan yang mendarat dan membumi dalam "Rumah Pancasila" adalah
sebuah kawasan spritualitas yang menggelorakan pikiran, sikap, tindakan, dan
perilaku yang berwatak kemanusiaan dan keadaban ; kesatuan dan keutuhan ;
kerakyatan dan kebersamaan ; keadilan dan kesetiakawanan.
Hakekat
inti dan nilai penting dari sistem nilai Kemanusiaan terletak pada kemanusiaan
itu sendiri. Kemanusiaan dalam bangunan Pancasila tidak berdiri sendiri
melainkan berjalan dengan sebuah sistem penghormatan, perlindungan, dan
penyelenggaraan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai ini berbasis, bertumpu, dan
mengedepankan keadilan (penjaga dan penguat harkat martabat kemanusiaan) dan
keberadaban (keadaban yang manusiawi). Kesesuaian dan keunggulan Kemanusiaan
Yang Adil Dan Beradab karena kandungan dan tampilannya mendorong dan mendukung
sepenuhnya keterbukaan, kebebasan, dan kesetaraan dalam ikatan Pancasila. Faham
dan etos Kemanusiaan bersifat sosial, universal, dan kolegial sehingga
Kemanusiaan Pancasila dipastikan tidak berdekatan apalagi bersahabat dengan
setiap dan semua yang berbau diskriminatif, primordialistik, dan individualistik.
Relevansi
dan daya fungsi kegunaan sistem nilai Persatuan menjadi efektif ketika
berprestasi mengatasi dan memelihara kebhinnekaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Persatuan Indonesia menjadi penjaga dan penguat NKRI dan kedaulatan bangsa
Indonesia. Nilai Persatuan memiliki energi mendorong dan menguatkan falsafah
dan etos budaya gotongroyong masyarakat dan bangsa Indonesia. Pesan penegasan
Pancasila dari nilai Persatuan Indonesia secara ideologi dan dasar
ketatanegaraan sesungguhnya berkehendak mengungkapkan dan memastikan bahwa
Indonesia tidak mengenal, tidak mengakui, dan tidak menerima konsep dan model
lain negara Indonesia di luar sistem dan bentuk NKRI. Indonesia hanya mengakui
dan memberlakukan bentuk NKRI yang berideologi Pancasila sebagai satu-satunya sistem
final dan bentuk permanen Indonesia Raya. Dengan demikian, apabila ada niat,
agenda, dan langkah aksi dari siapapun dan segelintir kecil manapun yang
memasarkan dan menjalankan aspirasi mengenai sistem dan bentuk negara Indonesia
selain NKRI, dan aspirasi tersebut bertentangan juga dengan Pancasila maka
penyimpangan dan penentangan tersebut mesti secepatnya diantisipasi, diatasi,
dan dituntasi. Inilah yang merupakan tantangan kita bersama sebagai masyarakat
dan bangsa Indonesia untuk mencegah dan mengatasinya. Hal ini tentu otomatis
juga menjadi tugas, tanggungjawab, dan kewenangan negara dan pemerintah untuk
menindak dan menuntasinya. Negara bangsa Indonesia sungguh-sungguh amat
menjunjung kebebasan dan hak-hak warga sepanjang itu diletakkan dan didudukkan
dalam kerangka penguatan Pancasila. Kebebasan dan hak-hak tersebut dijalankan
berdasarkan dan berorientasi untuk menaati Pancasila dan menguati Sila-Sila
Pancasila. Doktrin kuncinya adalah penghormatan dan penyelenggaraan kebebasan
dan hak-hak tersebut tidak berdiri sendiri namun mutlak setia dan terikat pada
Pancasila sebagai ideologi dan dasar NKRI yang merupakan penjaga dan pemelihara
kebebasan dan hak-hak itu sendiri.
Kekuatan
potensial dari sistem nilai Kerakyatan mengakar dan mengarah pada penguatan dan
pemaknaan sistem kedaulatan rakyat, demokrasi, permusyawaratan, dan perwakilan.
Kontekstualisasi Kerakyatan harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan agar
perwujudan dan penjabarannya terus menerus berkembang maju. Dengan demikian,
bobot Kerakyatan selalu setubuh dan senyawa dengan doktrin dan etos
"berdaulat di bidang politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian
di dalam kebudayaan". Pembangunan sistem kerakyatan, kedaulatan rakyat,
demokrasi, permusyawaratan, dan perwakilan mesti tumbuh berkembang berdasarkan
dan berorientasikan Trisakti. Pergumulan dan tantangan yang dihadapi sistem
nilai Kerakyatan semakin menantang dan merangsang agar penataan dan penguatan
Kerakyatan harus juga semakin diaktualkan dan dibangkitkan dalam kerangka Pancasila.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan - merupakan sistem nilai yang membangun agar kohesivitas antar
Sila-Sila Pancasila menjadi peletak dan penguat sistem dan budaya politik
Indonesia Pusaka dan Indonesia Merah Putih.
Isi
dan arah pengorganisasian sistem nilai Keadilan merefleksikan dan memancarkan
kemauan kuat bahwa Keadilan yang berwatak sosial, universal, dan tidak parsial
ini secara prinsipil tidak berdiri sendiri. Keadilan memiliki relasi dengan Sila-Sila
Pancasila. Keadilan juga mempunyai kandungan maksud luhur untuk menempatkan dan
mengembangkan Keadilan sebagai yang bermuatan sosial. Fokus Keadilan bermuatan
sosial ini untuk diabdikan bagi kebutuhan, kepentingan, dan kemanfaatan seluruh
masyarakat dan bangsa Indonesia. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
- melambangkan dan menorehkan solusi cerdas dan agenda jelas mengenai posisi
seluruh rakyat Indonesia yang harus senantiasa dilindungi, dilayani, dihormati,
dan diurusi oleh negara melalui agenda kebijakan dan etos kerja Keadilan
Sosial.
Pancasila
tampil cemerlang dalam rangka menghadapi, mengatasi, dan menuntasi permasalahan
serius dan pergulatan kritis masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Pancasila hadir cekatan dalam rangka mengatasi problem fundamentalisme,
ekstrimisme, radikalisme, spritualisme sempit, fanatisme berlebihan ; mengenai
dehumanisasi, kolonialisme, imperialisme, diskriminasi. Pancasila muncul
gemilang dalam rangka mengatasi sektarianisme, primordialisme, hal-hal yang
federalistik ; mengenai otoriterianisme, hal-hal yang individualistik dan
liberalistik yang berlebihan dan bertentangan ; mengenai ketidakadilan,
kesenjangan, ketimpangan, kemiskinan, kemelaratan. Pancasila mengarahkan dan
mengantarkan masyarakat dan bangsa Indonesia menuju Tujuan Nasional NKRI.
Kerangka dasar dan format inti dari agenda strategi dan kebijakan membumikan
Pancasila sebenarnya dan sesungguhnya untuk memaknai dan memfasilitasi
Pancasila menafasi dan menghidupi Indonesia Raya sebagai Rumah Besar Kebangsaan
- rumah tinggal, hidup tumbuh, dan bekerja bersama.
Tulisan
ini merupakan Prakata yang sudah dimuat dalam sebuah buku kumpulan pemikiran,
dengan judul “Pancasila Rumah Bersama”.
Buku ini memuat pemikiran, antara lain : Ketua MPR-RI Zulkifli Hasan ;
(2). Ketua DPD-RI Oesman Sapta Odang ; (3). Menteri Pemuda Dan Olahraga RI Imam
Nachrawi ; (4) Kapolri Jenderal Pol. Prof. Tito Karnavian, MA, PhD ; (5). Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden RI Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc ; (6). Anggota Dewan
Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RI (BPIP) Dr. A.A. Yewangoe ; (7).
Kepala BPIP RI Dr. Yudi Latif, MA ; (8). Mantan Anggota Komisi Politik Dan
Hukum DPR-RI Firman Jaya Daeli ; dan lain-lain. (Timred)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar