Ditulis oleh : Adrianus Aroziduhu Gulo, SH, MH (Bupati Nias Barat Periode 2011 - 2016
Pilkada serentak sebanyak 171 di beberapa provinsi
maupun kabupaten/kota di wilayah Indonesia tahun 2018 tinggal beberapa bulan
lagi, para calon kepala derah/wakil kepala daerah berupaya keras untuk
memperkenalkan diri melalui media sosial, spanduk,sosialisasi,dll agar hati
masyarakat berpihak kepadanya dan memilihnya pada hari H. Upaya calon Kepala Daerah maupun tim suskses,
selain masyarakat umum, juga mesosialiskan diri kepada anggota Aparatur
Sipil Negara(ASN). Mereka beranggapan bahwa anggota ASN, mempunyai pengaruh
yang cukup signifikan di masyaarakat.
Walaupun
dalam PP.RI Nomor 53 tahun 2010, tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 4
ayat 15 huruf a,b,c dan d(larangan memberikan dukungan kepada calon Kepala
Derah/Wakil Kepala Daerah) dan UU RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara pasal 2 huruf f yaitu “Netralitas”. Dalam penjelasan ayat 2 huruf f menerangkan: “Yang
dimaksud dengan asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak
dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan
siapapun”. Kedua peraturan di atas fakta di lapangan jauh dari
semestinya.
Pertanyaan muncul. Apakah netralitas ASN dapat menjamin kelangsungan
kariernya setelah pilkada selesai? Apakah kepala daerah terpilih menghargai ASN
yang netral atau dianggap tidak punya andil?. Apakah ASN yang netral merasa
tenang,aman setelah selesai pesta demokrasi di daerahnya? Atau sebaliknya
mereka terancam karena tidak memberi dukungan moril maupun
material kepada kepala daerah terpilih? Apa kata tim suksesnya? dst...Mari kita
renungkan jawabannya.
Apalila
diamati secara umum ada dua pendapat yang memengaruhi ketenangan ASN setiap
pilkada yaitu: Pertama para calon Kepala Daerah berusaha keras mencari dukungan
dari ASN, karena ASN dianggap tokoh masyarakat dan bisa memengaruhi
pemilih,minimal keluarga besar dan familinya. Kedua, oknum ASN sendiri yang
berinisiatif secara diam-diam dan/atau
terang-terang mendukung salah satu calon atau lebih dengan harapan bisa dapat
jabatan yang strategis apabila yang ia dukung menang. Oknum ini seakan-akan
tidak peduli pada peraturan yang ada, bahkan ia tidak segan-segan mempengaruhi
teman ASN lainnya dan kadang menakut-nakuti.
Kata pepatah, pala basah, basah semua. Untuk mengejar
cita-citanya oknum ASN tertentu tidak hanya mendukung salah satu kontestan
pilkada, ia memberi dukungan kepada pasangan lain yang elektabilitasnya tinggi.
Diprediksikan salah satu dari yang didukung itu akan menang, maka posisi mereka
aman. Apabila selama ini ia punya jabatan tidak tergeser, syukur-syukur
dipormosikan pada jabatan yang lebih tinggi atau pada jabatan yang strategis
seperti: dinas PU,dinas pendidikan, BPKPAD,dll. Jika belum punya jabatan akan mendapat jabatan sesuai deal-deal sebelumnya.
Dukungan
tidak sebatas kata-kata, melainkan turut membantu pendanaan biaya operasional
para calon yang didukung. Mereka berhitung dalam satu tahun sudah pulang modal.
Malah ada diantara mereka yang pimjam uang untuk memenangkan idolanya. Hebat!
Tidak peduli punya utang, tidak peduli melanggar aturan, tidak peduli perasaan temannya
ASN/kawan/famili dan tetangga. Kelompok ini biasanya oknum ASN yang tidak punya
jabatan,pernah diberi teguran disiplin,tidak loyal,integritas rendah,kenirja
rendah,malas,dll. Mereka pikir siapa tahu kariernya naik apabila yang didukung
menang. Bayangkan bila orang seperti ini diberi jabatan strategis.
Namum, ada yang lebih ambisi lagi. Ceritanya begini :
Pada Pilkada Kabupaten Nias tahun 2006 ada lima pasang calon. Waktu itu saya
Kaban Kesbangpol dan Linmas yang salah satu tugasnya memonitoring pilkada yang sedang berlangsung. Saat itu staf melaporkan kepada saya bahwa ada oknum
PNS yang mendukung tiga pasang calon. Awalnya saya tidak percaya, akan tetapi
setelah memantau dan mengikuti gerak-gerik oknum PNS tersebut dan mencocokkan
informasi dari berbagai sumber, ternyata
mendekati kebenaran bahwa ia mendukung secara sembunyi-sembunyi tiga pasang
calon secara moral maupun material,dengan cara menempatkan orang kepercayaannya
pada masing-masing tim sukses. Sejak itu mulai ada istilah baru yaitu:”kaki
tiga,” kalau kaki dua masih bisa tumbang sedangkan kaki tiga kokoh.
Setelah
dicermati dengan seksama mengapa ia mendukung tiga pasang calon,alasannya
sederhana yaitu: Selain agar jabatannya tetap bertahan, ketiga calon tersebut 2(dua)
pasang diantranya masih atasannya(incambent)serta yang 1 (satu) pasang lagi
mantan atasannya, sehingga ada pengaruh psykologis. Kendatipun demikian, ada
tersirat keanehan dalam sikap oknum PNS tersebut yaitu loyalitas ganda dan
kurang mampu membedakan antara dinas dengan pribadi, hingga menempuh segala
cara untuk mempertahankan jabatannya. Hasilnya dari tiga pasang yang
didukungnya, satu pasang diantaranya menang. Selamat dan gembiralah kawan serta
tetap esolon dua sampai pensiun. Malah saat pilkada tersebut, juga ada seorang oknum
camat ikut kampanye salah satu pasangan
calon dan mengkampanyekan agar memilih si A, dan sampai sekarang tidak ada teguran kepada oknum
camat tersebut, malahan kariernya melezit setelah yang ia dukung menang. Hal serupa
oknum mantan camat tesebut melakukan pada saat pilkada Nias Barat Desember 2015
dengan memberi dukungan kepada salah satu pasangn calon Kepala Daerah dan yang
ia dukung menang.”Sebagai imbalan dukungannya, ia mendapat jabatan yang sangat strategis di
Pemkab Nias Barat”.
Harus diakui masih banyak ASN yang netral,taat hukum
dan profesional. Pertanyaannya ialah: Bagaimana kareir mereka setelah pesta
demokrasi lokal di daerah? Apakah mereka mendapat jabatan sesuai dengan
keahliannya?Apakah mereka diterima begitu
saja oleh pemenang sementara belum menanam saham? Apakah tim sukses
dapat menerima mereka? Silakan ajukan pertanyaan lain. Mohon maaf saya belum melakukan penelitan tentang hal ini,
namun sesuai pengamatan sementara dan fakta di lapangan, kareir mereka yang
netral,taat hukum dan profesional “kadang tidak jelas”. Jikapun mereka
dapat jabatan hanya”sisa-sisa”dari tim sukses/pendukung. Mengapa? Mereka dianggap abu-abu, mereka dituduh tidak
berkeringat, mereka digolongkan penumpang gelap, mereka disebut penakut, mereka
itu tidak punya andil, dll. Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan miring kepada
mereka. “Kasihan”. Itulah kata yang pantas diucapkan untuk mereka.
Fakta,
mereka yang mendukung secara moral dan material bupati terpilih, itulah yang
diutamakan , malahan karier mereka melezit seperti oknum camat di atas. Apalagi
sebelumnya sudah ada deal-deal bahwa si A, B, C, dan D ditempatkan pada jabatan
ini dan itu, apabila komitmen ini dilanggar bisa terjadi keributan. Pun pula,
dalam penempatan pada jabatan tidak berdasarkan “the right man on the right plase”,
melainkan berdasarkan balas jasa dan budi.”Kualitas, integritas, loyalitas, taat
hukum, profesional dinomorduakan malah dikesampingkan”. Akhirnya ASN
yang netral dan berkualitas, tinggal
gigi jari dan penonton setia. Setelah bosan menonton mereka minta pindah atau minta pensiun dini. Sekali
lagi dikatakan untuk mereka”kasihan”.
Dukung-mendukung pada pasangan calon Kepala
Derah/Wakil Kepala Daerah tidak hanya
ASN yang betugas/dinas di Kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada, melainkan
ada juga ASN yang dinas di kabupaten/kota yang lain, namun ASN yang
bersangkutan berasal dari kabupaaten/kota yang sedang melaksanakan pesta
demokrasi lokal. Contoh kasus. Pada pilkada Kabupaten Nias Barat Desember 2015
ada beberapa ASN putera/i Nias Barat yang dinas di luar Nias Barat datang dan
kampanye saat salah satu pasangan calon melaksanakan kampanye. Ada seorang Profesor/guru
besar berstatus ASN dosen di salah satu perguruan tinggi di wilayah sumatera ikut berkampanye di atas panggung dan memberi
dukungan kepada salah satu pasangan calon. Hal ini, selain melanggar PP RI Nomor 53 tahun 2010 dan UU RI
Nomor 5 tahun 2014, juga bertentangan dengan UU RI
Nomor: 8 Tahun 2015 Yo UU RI Nomor: 10 tahun 2017 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang Undang Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor: 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan
Gubernur,Bupati dan Walikota menjadi Undang Undang pasal 70 ayat(1) huruf b,berbunyi: Dalam
kampanye,pasangan calon dilarang melibatkan: Aparatur sipil negara,anggoaKepolisianNegara
RI, dan anggta TNI.
Salah
satu poin penting isi kampanye oknum Profesor/guru besar saat itu yaitu: “saya mendukung pasangan calon
ini karena mereka ramah,merakyat, mudah bergaul. Buktinya mereka menelpon saya
dari jauh untuk datang disini. Sedangkan yang lain ibe`e ba doyo nia
ndra`ugo(ia memantati kamu) ifamawa dola hogomi ba judi(mereka menjual kepala
kalian pada permainan judi)”,dst.... Apabila direnungkan, sungguh kejam
juga tuduhan oknum profesor ini.
Padalah,dari kecil pasangan calon yang dituduh main judi tersebut,tidak pernah
terdengar bahwa mereka pemain judi. “Tidak habis pikir seorang profesor bisa
menyampaikan komentar sarkasme seperti itu”. Kendatipun demikian sampai
sekarang belum ada kabar bahwa oknum ASN terebut ditegur oleh atasannya. Memang
dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Juga dalam politik tidak ada yang
gratis. Tentu biaya omongan itu mahal. Semoga ia sudah mendapat imbalannya.
Mencermati uraian di atas, ASN kadang kala berada
dalam posisi dilema. Maju kena-mundur kena,kiri-kanan susah,bawah atas berat. Ibarat
buah simalakama. Mendukung salah satu atau lebih pasangan calon berarti
melanggar hukum, tidak mendukung salah satu calon berarti netral dan siap-siap
tersingkir, karena dianggap tidak punya andil. Ibarat gajah berkelahi dengan
gajah, pelanduk mati di tengah-tengah atau ibarat membendung banjir hanyut
sendiri. Kondisi ini yang mendorong ASN berpihak kepada salah satu pasangan
calon Kada atau lebih, apalagi kalau dalam dirinya sudah ada benih ambisi jabatan,
maka segala cara dihalalkan supaya mereka tetap punya jabatan.
Untuk itu, agar ASN sebelum,saat,sesudah pilkada
merasa tenang dan ada kepastian hukum serta tidak ada pembiaran bagi yang tidak
netral, perlu langkah- langkah sebagai berikut :
Pertama, ASN yang tidak netral, kasusnya jangan hanya berdasarkan
laporan Panwas, karena Panwas juga kadang tidak netral.
Kedua, ASN yang ikut kampanye secara langsung,hendaknya
tidak hanya menunggu laporan Panwas, karena Panwas hanya memberikan waktu tiga
hari untuk membuktikan laporan, setelah itu daluwarsa.Laporan dan bukti dari masyakat
perlu diperhatikan, daluwarsanya disesuaikan
menurut ketentuan dalam KUHP pasal 76 samapi 85, agar ada efek jera.
Ketiga, bagi ASN yang diduga berpihak kepada salah satu
pasangan calon atau lebih,proses penyelidikannya tidak lagi oleh Panwas, karena
Panwas di Kabupaten/kota sumber daya manusianya rendah, melainkan langsung ditangani
oleh penyidik pada Polres setempat. Kasusnya tidak boleh berhenti setelah selesai
pilkada, harus diusut sampai tuntas.
Keempat, Apabila hasil penyelidikan mengarah pada tindakan
disiplin ASN, maka penjatuhan hukum disiplinnya harus diawasi dan jangan hanya
diserahkan saja kepada Kepala daerah, bisa saja Kepala Daerahnya tidak
memberikan hukuman disiplin, karena ASN tersebut pedukungnya(seperti oknum
camat di atas). Gejala inilah yang membuat banyak ASN pesimis.
Kelima, Komisi
Aparatur Sipil Negara(KASN) yang mandiri dan bebas dari interfensi politik,
segera bergerak,bekerja dan jangan hanya di atas kertas dan mati fungsi,
sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 5 tahun 2014 pasal 28 sampai pasal 42. Hal
ini sangat mendesak karena ASN belum jera memberi dukungan kepada calon Kada,
apalagi dalam UU Nomor 10 tahun 2016 kurang tegas sanksi bagi ASN yang terbukti
memberi dukungan kepada calon Kada.
Pelayanan
masyarakat hanya bisa maksimal, kalau dalam proses pilkada ASN berada dalam
posisi netral. Ketidaknetralan ASN dalam pilkada membuat mereka memandang masyarakat
terkotak-kotak. Masyarakat yang dulu seperjuangan dengannya itulah yang mendapat prioritas
dalam pelayanan. Hal ini nampak dalam pembagian bansos,pupuk,proyek,dll. Apabila
ini yang terjadi, maka tujuan suci pilkada telah ternoda oleh tindakan ASN yang
tidak netral itu, akhirnya daerah tidak semakin berdaya tetapi diperdaya.Sebab
sejatinya kita menginginkan ASN yang
netral tidak hanya sebatas aturan normatip, namun sungguh netral selama
pelaksanaan Pilkada. (A1)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar